Garuda IPO, Bisnis Maskapai di Indonesia Amburadul

Dunia penerbangan Indonesia salah satu sektor yang penuh misteri



Tanggal 25 Januari 2011 nanti, maskapai Garuda hendak menjual saham perdananya kepada publik. Istilah lainnya IPO (Initial Public Offer). Hal ini berarti jika di atas kertas, secara akuntanbilitas, salah satu perusahaan penerbangan BUMN itu berada dalam keadaan sehat.
Sebab sesuai dengan aturan Pasar Modal, hanya perusahaan sehat yang diizinkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK) untuk go public. Jika IPO ini berhasil, maskapai Garuda diperkirakan akan meraup dana segar dari penjualan tiket pesawat sekitar Rp9 triliun, jika asumsi yang dipakai tepat, yaitu jumlah saham yang dilepas tidak kurang dari 9 miliar sementara harga per lembar saham dalam kisaran Rp900-1,100.

Kondisi sehat Garuda ini cukup mengherankan publik, sebab publik tidak pernah diberikan informasi, kapan dan semenjak tahun berapa Garuda sudah berstatus sehat. Semoga saja pengalaman perusahaan pesawat terbang milik pemerintah yang digo publickan rezim Orde Baru, tidak terulang kembali. Perusahaan itu akhirnya mengalami kebangkrutan, padahal ketika IPO antara lain disebutkan, hasil penjualan saham itu akan dipergunakan untuk membuat pesawat terbang.

Maskapai Garuda selama beberapa tahun ini kerap selalu disebut salah satu BUMN yang merugi terus.Padahal penjualan tiket secara booking online  Garuda terus meningkat. Sehingga ketika terdengar berita Garuda akan IPO, munculah sebuah pertanyaan, sejak kapan Garuda membuat keuntungan?
Karena tidak ingin mengganggu IPO dan proses revitalisasi perusahaan milik negara itu, maka rencana go public Garuda ini didukung dan diaminkan saja.

Di satu sisi, Maskapai Merpati Nusantara Airlines, anak perusahaan Garuda, hingga sejak saat ini tidak ada kabar (baik) terbarunya. Semenjak home base-nya dipindahkan dari Jakarta ke Makassar, hanya berita perpindahannya saja yang sempat terdengar.
Selebihnya tak terdengar kecuali selentingan berita yang sulit dikonfirmasi bahwa perkembangan BUMN itu juga tidak sesuai harapan. Konon, sejak Jusuf Kalla tidak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden Oktober 2009, berhenti pula program restrukturisasi dan revitalisasi Merpati.

Mengingat pemindahan home base Merpati ke kampung halaman Jusuf Kalla tidak lepas dari pengaruh JK sebagai orang nomor dua di Indonesia pada saat itu.
Ceritera lain datang dari Mandala Airlines. Perusahaan yang didirikan oleh TNI-AD itu, pekan ini mengibarkan bendera putih, tanda tidak mampu lagi menghadapi peperangan atau persaingan di bisnis penerbangan era baru ini.

Mandala Airlines resmi menghentikan pengoperasiannya sejak tanggal 13 Januari 2011. Sebelumnya kepada Pengadilan Negeri, Jakarta, Mandala sudah mengajukan permintaan bangkrut. Setelah disetujui, barulah penghentian operasi itu dia lakukan.
Kalau Garuda, Merpati dan Mandala yang sudah berdiri lebih dari tiga puluh tahun mempunyai ceritera kesulitannya, lain lagi dengan cerita Lion Air dan Air Asia, dua perusahaan penerbangan swasta yang didirikan pasca krisis moneter 1998.

Penerbangan swasta ini, sejak awal didirikan lebih banyak mengungkapkan cerita keberhasilannya. Pengelola Lion Air dan Air Asia lebih mengedepankan jargon kerja keras. Sedangkan Garuda, Merpati dan Mandala lebih menonjolkan kekuasaan, dominasi dan proteksi. Dua paradigma yang saling bertolak belakang tetapi sama-sama digunakan di industri yang sejenis.

Lion Air misalnya yang tanpa sedikitpun bantuan kredit bank pemerintah telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari Boeing, pabrikan pesawat terbang komersil. Sehingga Lion Air bisa mengoperasikan belasan pesawat baru. Bandingkan Garuda yang untuk menyewa pesawat saja, negosiasinya memakan waktu bertahun-tahun.

Lion Air juga pelopor penjualan tiket pesawat dengan harga tiket yang terjangkau oleh masyarakat kelas menengah. Selain sukses bekerja sama dengan Boeing, Lion juga melakukan terobosan baru. Lion akan menjadikan bandara Sam Ratulangi, Manado, sebagai home base nya. Untuk keperluan itu, Lion air telah membangun hanggar pesawatnya di bandara Sam Ratulangi, selain juga memperpanjang landasan pacunya.
Sementara Air Asia milik Tony Fernandes, pengusaha Malaysia, sukses mengakusisi, AW Air, perusahaan swasta nasional Indonesia yang didirikan ketika Abdurahman Wahid (AW) baru saja menjadi presiden ke-4 Republik Indonesia.

Perbandingan Garuda dan Merpati terhadap Lion Air dan Air Asia, tidak akan terjadi andaikata pekan ini tidak muncul berita penghentian operasi oleh Mandala Airlines. Sebab sesungguhnya penghentian operasi Mandala merupakan sebuah tragedi besar dalam industri penerbangan nasional.

Sekalipun Mandala sudah berubah kepemilikannya, yaitu menjadi swasta penuh, tetapi secara historis terdapat sejumlah uang rakyat dan pemerintah di dalamnya. Yaitu ketika Mandala dimodali dana TNI sehingga penghentian operasi tersebut secara matematika keuangan, menciptakan kerugian yang besar bagi rakyat dan negara.
Kejadian ini juga sekaligus menunjukkan betapa buruk dan amburadulnya manajemen dunia penerbangan nasioinal. Bukankah perubahan status kepemilikan Mandala baru saja terjadi?
Selain didera manajemen yang amburadul, pengelola penerbangan tidak memiliki visi seperti Singapura. Negara tetangga ini telah mampu membius konsumennya untuk loyal kepada Singapore Airlines (SQ). Uniknya lagi mayoritas konsumennya berasal dari masyarakat Indonesia.

Dengan kata lain Singapore Airlines mampu meyakinkan orang Indonesia untuk membangun armada SQ dan bukan GA (Garuda) apalagi yang punya call sign MZ (Merpati). Beginilah balada penerbangan nasional kita....sungguh ironis.

berita lainnya :

© Copyright 2019 bintang tiket bogor